Don’t Criticize, Condemn, and Complain

900px-Listen-to-Music-Step-1-Version-2

Akhir-akhir ini saya kesulitan mencari topik yang renyah untuk dijadikan sebuah tulisan. Terlebih lagi, saya sangat kesulitan mencari waktu dan momen yang tepat untuk menulis. But I know, now is the right time..

“Don’t criticize, condemn, and complain” adalah sebuah kalimat yang saya temukan pada bab 1 buku How to Win Friends and Influence People. Sebuah kalimat simpulan dari ribuan kata analogi tentang bagaimana pengaruh sebuah kritik terhadap kepribadian seseorang. Akhir-akhir ini saya mengamati satu sifat mendasar manusia yang bisa jadi kita semua tidak luput dari memilikinya. Adalah “Tidak ingin disalahkan, ketika dirinya salah. Selalu ingin menyalahkan, ketika orang lain salah.”. Bahasa lainnya, wrongdoers will blaming everyone but themselves. Faktanya, sebagian besar dari manusia selalu lebih mudah melihat celah keburukan dibanding dengan kebaikan. Selalu mampu mencela, dibandingkan dengan mengapresiasi. Selalu mudah mengomentari daripada menerima komentar. Semua orang pada dasarnya seperti itu, yang berbeda adalah respon/reaksi yang ditunjukan.

Kritik, lebih banyak diartikan sebagai buah perhatian seseorang terhadap apa yang orang lain lakukan. Kritik jauh lebih mengandalkan pemahaman pribadi orang yang mengeluarkan “kritik” tersebut. Yang dikritik, bisa saja luput memerhatikan sudut pandang yang menjadi objek dari si pengkritik. Mengkritik sesuatu rasanya sudah menjadi kegiatan umum yang dilakukan banyak orang, termasuk saya. Dalam berbagai macam hal. Lingkungan keluarga, pertemanan, perkuliahan, birokrasi universitas, politics issue, terlebih adalah hal-hal yang berkaitan dengan interaksi manusia. Relationship, jelas menjadi wadah kritik terbesar yang pernah saya temukan.

Lalu, seberapa besar pengaruh kritik terhadap apa yang seseorang kerjakan? Sebagai pemimpin dalam lingkup kecil, saya sering berinteraksi dengan teman-teman dalam organisasi saya. Saya sering mengkritik beberapa orang dalam beberapa hal yang dikerjakan. Suatu waktu, saya mengkritik kinerja salah satu anggota saya. Saya paparkan mengenai satu persatu kesalahan dia. Saya dikte satu persatu hal yang tidak patut dia kerjakan. Kalimat kritikan saya waktu itu adalah seperti ini: “Dalam hal ini, kamu jelas salah mengambil keputusan seperti itu. Seharusnya kamu pikirkan baik-baik apa-apa yang kamu kerjakan. Kalau sudah begini mau diapakan?”. Kritik saya jauh lebih berbau kemarahan, bukan nasihat atau masukan. Hasilnya, anggota saya malah lebih menjadi ketergantungan dalam hal mengambil keputusan. Sedikit-sedikit ragu dalam mengambil langkah, ragu dalam mencoba hal baru, ragu dalam memberikan inovasi. Ujungnya, terhambat perkembangan jiwa kepemimpinannya.

Melihat hal itu, saya mencoba mengubah cara memperbaiki kinerja anggota saya. Suatu waktu dengan kasus yang sama dan orang yang sama, saya mencoba untuk berkomunikasi dengan cara yang lain. “Kamu sudah melakukan yang terbaik. Saya tidak bermasalah dengan apapun keputusan yang kamu ambil, terpenting adalah setiap keputusan harus jelas pertimbangannya. Kita hanya akan tahu keputusan kita salah atau benar ketika kita melihat hasilnya. It’s okay, benar atau salah terpenting kamu memiliki pertimbangan yang jelas. Keep moving!”. Hasilnya? Jauh lebih memuaskan. Dia, mulai berkembang dengan caranya sendiri. Mulai terlihat kehati-hatian dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Mulai jauh lebih berani dalam mengambil resiko. Mulai mampu berkomunikasi dengan baik dalam berbagai hal.

Kritik, ternyata tidak selalu mampu memengaruhi orang untuk masuk ke dalam ruang perbaikan. Yang ada, dengan kritik muncullah sifat defensif dari seseorang. Bahkan, ketika saya dikritik orang pun terkadang perasaan membela diri jauh lebih menguasai dibandingkan dengan penerimaan dan intropeksi diri. Sekali lagi, wrongdoers will blaming everyone but themselves. Nyatanya, semakin banyak dikritik semakin tebal dinding pembelaan diri. Lain halnya ketika semakin banyak diarahkan apa yang seharusnya terjadi dengan cara sebaik mungkin, bisa jadi penerimaan jauh lebih mudah dibandingkan dengan penolakan.
Don’t criticize someone, if you don’t want to be criticized. Hehe. Manusia, begitu kok.

Jadi.. Sebisa mungkin, mari ubah cara komunikasi kita dengan orang lain dalam hal kritik mengkritik. Judged not, you will not be judged. Cara berbicara yang sama sekali tidak kita sadari membuat orang lain tersakiti, tidak akan sama sekali kita sadari jika tidak kita pahami. Berharap orang lain tidak mengkritik dengan cara yang salah, hanya akan menjadi harapan belaka ketika kita masih mengkritik orang lain dengan cara yang sama.
So, don’t criticize, condemn, and complain.

Leave a comment